Kacamata tebal dan janggut hitam keputihan menghiasi wajah pemilik senyuman yang khas di setiap fotonya. Rasa ingin tahun dan kecerdasan luar biasa terpancar dari sorot matanya. Ia adalah Abdus Salam. Muslim pertama yang berhasil meraih Nobel Fisika untuk teori Electroweak (Elektrolemah).
Pria kelahiran 29 Januari 1926 di Jhang, Punjab, Pakistan ini lahir dan tumbuh dalam keluarga Muslim yang menerapkan Al-Qur’an dan Hadits dalam kehidupan sehari-harinya. Bakat cerdasnya sudah terlihat sejak ia masih berusia remaja.
Sewaktu masih berusia 14 tahun, Salam tercatat sebagai lulusan terbaik dengan nilai tertinggi pada ujian matrikulasi Universitas Punjab dan berhasil mendapatkan beasiswa penuh. Konsentrasinya adalah Matematika dan Fisika. Setelah lulus, ia melanjutkan ke program master dengan dua beasswa di tangannya, yaitu dari Universitas Government Collage, Lahore dan Universitas St. Jhon’s College, Cambridge, Inggris.
Berbekal segudang prestasi, Salam kembali ke negaranya dan menjadi guru besar pada usia 25 tahun. Namun, kehilangan kontak dengan sesame ilmuwan, kurangnya inovasi dari ilmuwan setemat, dan tak adanya kritikan atas hasil karyanya, membuat Salam ‘mati suri’ di negaranya sendiri. Dengan berat hati, ia pun memutuskan untuk kembali ke Inggris dan menjadi Lektor Universitas Cambridge.
Geliatnya di dunia fisika berhasil mengantarkan Abdus Salam sebagai Muslim pertama yang mendapatkan nobel di bidang fisika pada tahun 1979 karena berhasil menyempurnakan teori Electroweak, teori yang menyatukan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah.
“Teori yang dinamakan elektrolemah (Electroweak) menjadi suatu pijakan mengembangan teori penyatuan maha-agung (grand unification theory) yang berusaha menyatukan kedua gaya ini dengan gaya inti (gaya kuat). Sekarang, teori yang dikembangkan Abdus Salam ini menjadi inti penting dalam pengembangan model standar fisika partikel. Kesahihan teori Abdus Salam ini sudah diuji pada Superprotosynchrotron di CERN-Geneva (pusat penelitian nuklir, red) yang telah memimpin pada penemuan partikel W dan Z,” ujar fisikawan Yohanes Surya di situs isekolah.org.
Salam bukan sekedar ilmuwan, tapi juga filsuf yang selalu mengaitkan teori Al-Qur’an. Tak heran jika akhirnya ia terobsesi membuktikan kebenaran Al-Qur’an melalui percobaan-percobaannya. Salam menganggap bahwa dalam Islam, terdapat renungan tentang universal ciptaan Allahdengan berbagai keindahan, kesimetrisannya, dan keharmonisasinya.
Menjelang ajalnya, Salam saat itu menjabat sebagai Direktur ICTP (International Center of Theoritical Physics) mengalami stroke. ICTP adalah lembaga yang ia bentuk dari rasa keprihatinannya atas sedikitnya ilmuwan yang berasal dari dunia ketiga. Selama 0 tahun ICTP telah dikunjungi 60.000 ilmuwan dari 150 negara.
Pada 21 November 1996, di usia 70 tahun, Salam meninggal di Oxford, Inggris. Jenazahnya lalu dibawa ke Pakistan dan disemayamkan di Darul Ziafat. Lebih dari 30.000 orang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Abdus Salam, fisikawan Muslim terbesar abad ini.
5 dari 19 Penghargaan yang Diraih Abdus Salam :
Nobel Fisika, Stockholm, Swedia, 1979
Medali Josef Stefan dari Institute Josef Stefan, Ljublijana, 1980
Medali emas untuk kontribusi tertinggi di bidang Fisika, Czechoslovak Academy of Science, Prague, 1981
Medali emas Lomonosov, USSR Academy of Science, 1983
Medali Copley, Royal Society, London, 1990
Diambil dari Majalh Ummi edisi Spesial Agustus – Oktober 2009/1430 H
[…] Referensi dari sini […]
SukaSuka
wow..keren…semoga saya bisa mengukir prestasi yang sama di dunia internasional….
SukaSuka
Aamiin…
SukaSuka