Beberapa hari lagi adik-adik kita yang duduk di kelas XII Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) akan melaksanakan Ujian Nasional 2011. Memang diakui ada perubahan penentuan Nilai Akhir (NA) pada Unas 2011 ini. Pemerintah “mau” memperhatikan proses pembelajaran siswa dengan perbandingan 40:60. 40 untuk rata-rata siswa dari 3 semester akhir dan 60 untuk nilai yang didapat siswa saat Unas.
Unas kali ini pun pemerintah “mau” bersusah payah dengan membuat 5 tipe soal berbeda. Yang pembagiannya pun tidak tentu. Misal, Udin akan dapat paket A untuk pelajaran Matematika, sedangkan untuk pelajaran Biologi misalnya, ia harus mengerjakan paket C. Sehingga probabilitas mendapatkan tipe soal yang sama dalam satu sekolah pada semua mata pelajaran untuk masing-masing siswa menjadi semakin kecil. Ini salah satu bentuk i’tikad baik pemerintah pusat dalam membuat Unas ini menjadi adil. Tinggal eksekusi dari pemerintah daerah dan sekolah masing-masing yang dapat membuat Unas ini semakin baik.
Saya tidak akan membahas detil mengenai Unas dan proses pengolahan nilainya yang bisa dibilang cukup ribet. Tapi saya hendak menyampaikan sedikit apa yang menjadi gundah saya beberapa hari belakangan ini.
Berawal dari 2 orang adik binaan saya yang mendatangi saya (ke sekolah) dengan muka lesu. Bukan karena mereka sedang berpuasa saat itu. Bukan juga karena mereka baru pulang sekolah. Tapi karena sebuah peristiwa di pagi hingga siang di sekolah yang membuat wajah mereka seperti begitu. Seakan tak ada daya menghadapi hari esok. Mereka berbicara hal akan adanya kecurangan yang terhembus di sekolah. Ada “orang terpercaya” yang menawari teman-temannya untuk mau membayar sejumlah uang dan orang tersebut akan memberikan kunci jawaban atas soal-soal setiap mata pelajaran untuk setiap paketnya.
Kedua orang itu menolak bentuk kecurangan yang akan terjadi, tapi dengan alasan yang kurang kuat. Sebab oleh teman-temannya, justru alasan yang mereka sampaikan menjadi sebuah legitimasi atas nama solidaritas kesetiakawaanan. Kedua adik saya beralasan bahwa orang tua mereka tak mampu menyediakan uang sebanyak itu. Tapi ini sekali lagi hanya alasan mereka saja. Sebab orang tua mereka bukan juga dikatakan dari kalangan tak punya.
Lalu teman-teman mereka mendesak keduanya untuk mau ikut “ambil bagian” dari kecurangan itu dengan membantu menyediakan uang sebesar Rp 300.000,00 untuk keduanya. Bagi wali murid yang anak-anaknya sekolah disana, saya yakin uang segitu hanya tinggal narik saja. Apalagi uang Rp 300.000,00 itu dibagi rata kepada 45 siswa lainnya. Tentu akan menjadi sangat kecil nilainya. Kurang dari uang saku mereka sehari.
Mereka tetap bersikukuh untuk tidak mau. Dengan menangguhkan alasannya yang kuat untuk menolak ajakan itu. Jawaban yang tidak akan menyakitkan teman-temannya sekaligus jawaban yang bisa mematikan semua legitimasi yang diajukan teman-temannya tanpa membuat mereka “dikucilkan” dari pergaulan.
Saya bisa sangat memaklumi apa yang mereka rasakan. Usia segitu memang saatnya mencari teman sebanyak-banyaknya. Ingin diakui keberadaannya oleh lingkungan, apalagi oleh teman-teman sekelasnya. Itulah sebabnya mereka mendatangi saya beberapa hari yang lalu.
Sebagai guru (meski hanya guru SD Kelas I), yang bisa saya lakukan saat itu adalah memberi keduanya beberapa motivasi, diantaranya adalah tentang nilai perjuangan. Juga tentang kehidupan yang panjang setelah kehidupan di dunia. Dan setiap apa yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawabannya. Sekecil apapun itu. Juga beberapa tips memberikan dalih yang kuat untuk mematahkan alasan-alasan yang diajukan teman-temannya.
Setelah mereka berpamitan dan punggung mereka menjauhi saya, saya tertunduk sejenak. Mencoba melihat lebih dalam fenomena yang sedang terjadi. Sikap pragmatis, short cut, jalan pintas, dan lemahnya nilai juang itu sedang melanda adik-adik saya di SMA hari ini.
Lalu, yang salah siapa? Guru? Orang Tua? Sistem? Bisa jadi semuanya. Pembiasaan sehari-hari dari orang tua dan guru, tekanan dari sistem dan sekolah membuat mereka tidak yakin akan potensi yang telah Allah anugerahkan kepada mereka. Padahal mereka (adik-adik binaan saya ini) bersekolah di sekolah yang proses pembelajarannya dijadikan contoh sekolah lainnya. Artinya, prosesnya adalah proses terbaik. Belum lagi bahwa mereka adalah inputan terbaik. Buktinya, mereka berhasil “mengalahkan” kawan-kawannya yang lain yang ingin masuk ke sekolah itu. Padahal, jika inputan baik, proses baik, maka insya Allah output pun akan baik. Itu yang tidak mereka pahami.
Ini perkara mental. Masalah motivasi. Tak banyak sekolah yang benar-benar konsen dengan motivasi ini. Bahkan cenderung menyalahkan murid.
Dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, guru dan sekolah sebaiknya tidak hanya memberikan pengajaran yang layak bagi siswa, tapi juga menggiatkan mereka untuk bertindak benar. Motivasi tentang kejujuran, motivasi tentang daya juang, motivasi tentang bahwa kita adalah manusia terbaik, motivasi tentang bertindak benar, dan seterusnya.
Saya jadi teringat satu baitnya lagu wajib SMU Negeri 5 Surabaya, tempat saya bersekolah dulu, yang masih tersimpan lekat dalam long term memory saya. Salah satu bait itu berbunyi; “SMALANE tepat dalam tindakan”. Dan saya setuju, berlaku jujur, menolak segala bentuk kecurangan, selalu teringat bahwa ada kehidupan setelah kematian, adalah bentuk-bentuk “tepat dalam tindakan” itu.
Masalah pendidikan hari ini memang cukup kompleks untuk digali, dibahas, dan diungkap. Mulai dari sarana prasarana, pengawasan, peran serta masyarakat, hingga kualitas guru. Tak banyak guru peduli dengan mental siswanya. Tak banyak guru paham tentang hakikat pendidikan. Dan ketika semua itu berujung pada masalah ekonomi, lalu apa mau dikata. Guru hanya menghadirkan raganya saja saat melakukan proses pembelajaran. Yang penting datang, ngajar, pulang. Acuh pada faktor-faktor lain yang menjadi perusak akhlak bangsa ini.
Di bagian akhir posting kali ini saya ingin berpesan kepada adik-adik yang akan menempuh Ujian Akhir Nasional. Yang harus kaliah renungkan adalah kejujuran merupakan pakaian. Jika kalian tak malu, lepaskanlah ia.
Dan buat para guru se Indonesia, mari bersama-sama menjadi guru pejuang. Guru yang benar-benar bisa menjadi ujung tombak negara. Percayalah, jika tidak mendapatkan “tambahan” di dunia, maka Allah akan menggantikannya di akhirat kelak. Bukankah ketika seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua kecuali tiga hal. Dan salah satu halnya adalah ilmu yang bermanfaat. Dan berbagi ilmu kepada murid-murid adalah suatu amal jariyah yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada kita. Insya Allah.
Jika mereka yang diceritakan oleh kedua adik saya itu adalah murid Anda, apakah Anda (atau kita) tidak merasa malu dengan situasi semacam ini? Jika tidak malu, dimanakah letak iman kita? Bukankah malu adalah bagian dari iman?
Maka, Wahai para guru…. Jangan lupa untuk menanamkan kejujuran pada murid-murid Anda. Alangkah indahnya jika semakin banyak orang jujur di negara Indonesia tercinta ini.
***
Sidoarjo, 14 April 2011
10:44 AM
Hanya celotehan di tengah gundah yang menyergap di dada.
NB : Maaf, jika Anda tidak menangkap poin penting pada postingan ini. Karena begitu banyak yang ingin diungkapkan. ^__^
Ditandai:guru, menjadi guru, Motivasi Diri, pekerjaan, pekerjaan guru, Unas 2011
Monggo bagi yang ingin menambahkan komentar