Surat Terbuka untuk Mr. Tukul


Kepada

Yang saya hormati

Mr. Tukul

 

Assalamu’alaikum wr wb.

Mr. Tukul yang baik hati dan tidak sombong, bagaimana kabarnya? Masih tetap setia dengan mbak Susi kan?

Mr. Tukul, anak saya Fauzan meminta saya menulis surat kepada Anda. Oia, ijinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Emohi Rino Lailatul Kodar, seorang ibu rumah tangga biasa. Anak saya baru 1, namanya Fauzan Azhima Abdurrahman.  Usianya 4 tahun lebih 7 bulan. Meski masih kecil, tapi dia cukup kritis. Makanya, saya diminta untuk menuliskan ini kepada Anda.

Kata Fauzan, tindakan mengolok orang lain (pada iklan salah satu provider telekomunikasi yang Anda bintangi) itu tidak baik. Apalagi dilakukan berkali-kali. Fauzan memang tidak pernah melihat acara talk show yang Anda bawakan di salah satu televisi swasta yang tayang diatas pukul 10 malam itu. Saya mengira, dari sanalah tag line ini muncul. Anak saya itu hanya tahu, di iklan yang Anda bawakan tersebut, Anda berkata “Ndeso” dengan nada dan ekspresi mengejek pada 3 orang yang sedang bekerja membangun rumah Anda. Fauzan ingin mengatakan kepada Anda, bahwa mencela atau mengumpat itu haram hukumnya. “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela” (QS. Al-Humazah : 1)

Mr. Tukul, saya memang mengajarkan sesuatu tentang kebaikan dan keburukan pada anak saya yang berusia 4 tahun itu. Salah satu tindakan kurang baik yang saya amati dan saya sampaikan padanya adalah mencela, mengumpat, mengolok, atau ngatain orang lain. Bahkan Allah akan membuat celaka bagi mereka, orang-orang yang suka mencela.

Sebagai orang tua, saya melihat keadaan lingkungan sekitar dan fenomena yang terjadi di Negara kita. Rupanya sekarang ini, mencela alias mengumpat menjadi hal yang wajar dan lumrah. Bahkan jika orang yang diumpat merasa tersinggung, justru ia akan disalahkan oleh masyarakat. Wong guyon koq, ditanggepi serius..!. Begitu kebanyakan dalih si pengumpat –dan orang-orang yang melumrahkan umpatan– untuk melegitimasi “makiannya” kepada orang lain.

Mungkin kita yang sudah dewasa ini tahu, bahwa apa yang Anda lakukan dalam iklan itu hanya sekadar guyonan untuk mencairkan suasana. Tapi, saat iklan itu dilihat oleh anak kecil seperti anak saya di waktu-waktu diperbolehkan untuk menonton televisi, ini akan menjadi sebuah pembenaran baginya untuk mengolok kawannya. Orang dewasa ajha boleh mengolok, masa anak-anak tidak boleh?

Mungkin Anda bisa berargumen bahwa adalah orang tua berkewajiban untuk mendampingi dan membimbing putra putrinya saat sedang menonton televisi. Saya sangat sepakat dengan argumen Anda, dan insya Allah saya sudah melakukannya. Hanya saja, saya khawatir tidak banyak orang tua yang bisa intens untuk mengawasi dan mendampingi putra putri mereka saat anak-anak itu sedang menonton televisi.

Kalau begitu, tidak usah menonton TV atau sekalian tidak usah punya TV…! Kalau yang ini, saya tidak setuju. Sebab, tak bisa dipungkiri beberapa program televisi sangat baik untuk anak-anak sebagai sarana pembelajaran. Dari sana anak-anak bisa termotivasi dan mendapat pengetahuan baru. Jadi, menyarankan untuk tidak menonton TV atau tak usah punya TV, rasanya kurang tepat.

Mr. Tukul yang baik, coba Anda bayangkan jika di sebuah tempat ada beberapa anak sedang bermain kelereng. Salah satu diantara ternyata mereka tidak pandai menyentil biji kelereng untuk masuk ke dalam lubang. Kemudian beberapa kawannya mengolok dia, “Ndeso…!” Sepulang dari bermain, si anak yang memiliki kecenderungan introvert merasa dirinya bodoh, ndeso, katrok dalam segala hal. Nyentil gundu ajha gak bisa. Kemudian di otaknya terus terstimulus bahwa dia ndeso, dia tidak bisa melakukan apa-apa, dia katrok, dan seterusnya. Walhasil dia bisa menjadi manusia yang tidak memiliki semangat untuk maju. Bisa Anda bayangkan bagaimana masa depannya?

Berlebihan? Ah, rasanya tidak terlalu berlebihan dengan ilustrasi saya diatas. Karena sudah tak asing di telinga kita ada berita di Koran, di internet, maupun televisi, tentang percobaan bunuh diri seseorang  atau percobaan membunuh orang lain yang bercikal dari olokan, ejekan, celaan, dan makian. Jadi ilustrasi saya diatas sedikit banyak ada benarnya.

Mr. Tukul, saya lebih khawatir lagi terhadap bangsa ini, saat semua bisa merasa “lebih baik” dengan mengumpat dan membuat celaan, maka bangsa ini tak lebih akan menjadi bangsa yang lambat berkembang. Bukankah seharusnya kita lebih baik menjadi bangsa yang suka memotivasi? Bangsa yang senantiasa menebarkan semangat kepada semua orang untuk bisa maju dan lebih baik? Bangsa yang mampu saling menghargai hasil kinerja orang lain di tengah kemajemukannya?

Mr. Tukul… Alangkah indahnya, jika kata-kata “Ndeso…!” dalam iklan itu diganti dengan “Ayo belajar bareng” atau apalah yang lebih bernada memotivasi daripada bernada mengumpat. Tentu ini akan memberi dampak positif ketika kata-kata itu. Paling tidak, saya punya 3 sisi positif.

Pertama, memacu orang lain untuk selalu belajar. Tak peduli apa pekerjaannya. Tak peduli berapa usianya. Asalkan dia mau belajar, pasti dia bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Misalnya, cara pemasangan listrik dengan benar. Jika tidak didapatkan dari guru, kita bisa mencarinya di internet. Kedua,  memanusiakan manusia dengan tidak mencemooh suatu hasil kerja. Tukang batu akan merasa lebih dimanusiakan dengan diajak berbicara baik-baik oleh majikannya. Maka akan tercipta sebuah hubungan yang harmonis antara pekerja (Para Tukang) dan para pemilik modal (Mr. Tukul). Ketiga, menebarkan manfaat. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain? Dengan memberikan semangat kepada orang lain, berarti dia menebarkan manfaat pada orang tersebut. Artinya, sang motivator dapat gelar “sebaik-baik manusia” (HR. Muslim) dan si penerima motivasi dapat gelar yang tak kalah baiknya, “mereka yang mau memperbaiki diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’du : 11).

Yah… Mr. Tukul. Mungkin Anda juga hanya sebagai “korban” ide kreatif pembuat iklan. Tapi, saya yakin Anda juga bisa memilih dan memilah, mana yang tidak pas (pantas) untuk disampaikan dan mana yang lebih tepat untuk ditayangkan. Kalau Anda tak pernah berpikir untuk saya dan anak saya, pikirkanlah untuk masa depan bangsa kita tercinta ini.

Mr. Tukul, saya mohon maaf atas surat yang saya buat ini. Mungkin dalam surat ini banyak yang membuat Anda dan teman-teman kreatif tidak berkenan. Saya “terpaksa” melakukan ini karena permintaan anak saya Fauzan Azhima Abdurrahman yang masih kecil itu.

Terima kasih telah membaca surat saya. Besar harapan saya ada perubahan pada kalimat yang Anda sampaikan di iklan tersebut.

Wassalamu’alaikum wr wb.

 

Semarang, 19 Oktober 2011

00:25

Emohi Rino Lailatul Kodar

83 tanggapan untuk “Surat Terbuka untuk Mr. Tukul

  1. semua memang hanya permainan, tapi permainan yang meninggalkan bekas/pengaruh keburukan bukanlah permainan yang layak ditertawakan, ingatlah bahwa setiap laku kita akan dimintai pertanggungjawaban.

    terima kasih atas surat terbuka ini bu

    Suka

  2. anda sendiri sudah masuk dalam permainan juga. Kenapa harus pakai Mr. Tukul di depan namanya. Sama aja melegitimasi peran Tukul. Intropeksi diri lebih baik.

    Suka

  3. dewasa ini…
    seyognyanya kita sebagai bangsa yang bermartabat,kita harus menghargai karya dan apresisi orang lain sebagai maha karya yang luar biasa..
    harusnya kita kembali pada diri kita sendiri dan tergantung bagaimana kita menerapkan karya-karya tersebut dalam kehidupan kita masing-masing
    hanya orang-orang yang tidak doyan humor saja yang mengatakan humor itu haram..
    MERDEKA
    TETAP NKRI..
    GANYANG MALAYSIA

    Suka

    1. Saya tidak mengatakan humor haram. Adakah disana tulisan itu? Saya hanya menuliskan bahwa olok-olokan itu yang haram.
      Terima kasih telah berkomentar

      Suka

    2. humor itu sebagian seni..
      segala sesuatu bisa d buat seni…
      itu juga hanya sebuah humor,bukan realita sebenarnya…

      Suka

    1. Alhamdulillah, Am… Terima kasih…

      Yang pasti Am, ini tidak hanya tugas pemerintah. Tapi tugas kita semua. ^__^

      Suka

  4. iklan-iklan disini memang tidak ada yang mendidik dan selalu menonjolkan hal2 yang jelek dan sama sekali tidak berkesan. yang membuat iklan mestinya orang yang berpendidikan tetapi kenyataan karyanya berbeda dengan pendidikannya. itulah indonesia.

    Suka

    1. ^__^

      Tapi tak boleh pesimis, ya…? Karena masih banyak yang peduli dan memilih untuk tidak bersikap plagmatis atas keadaan bangsa ini. Masih banyak yang ingin berjuang dan bekerja dengan sebaik-baiknya untuk Indonesia.

      Suka

  5. Ada protective factors dan ada risk factors yang akan selalu mengiringi perkembangan individu dari bayi hingga lanjut usia. Coba baca ecological theory-nya Bronfenbrenner. Dan sesungguhnya protective factors yang ada dalam diri individu inilah yang akan menjadi sangat penting untuk keberhasilannya. Karena risk factors tidak bisa qt kendalikan, maka kendalikanlah apa yang bisa dikendalikan. Sistemik dan butuh waktu panjang untuk mengubah lingkungan. Terimakasih.

    Suka

  6. Hmm..sebenarnya slama ini nggak pernah memperhatikan iklan ini kalo ditvgkan ditv, pas baca surat ini baru ngeh juga… terutama dampak yg ditimbulkan dr tyangan tersebut buat anak2, apalagi yg namanya anak2 biasanya akan mudah sekali menyerap informasi yg ditygkan secara visual. Mungkin bagi manusia dewasa hal ini dianggap wajar saja, krn memang org dewasa sdh memiliki kemampuan untuk menilai suatu itu baik/buruk beda halnya dgn anak2 terutama untuk anak2 balita..mrk blm memiliki kemampuan akan hal itu apapun yg masuk kedlm memori mrk akan dianggapnya sama saja dan bisa jd sama baiknya…Tp ya itulah yg terjd saat ini, semuanya butuh kerjasama dan kerja keras antar berbagai elemen spy generasi muda bangsa ini dpt mnjdi generasi yg berkualitas baik dr segi akhlaq maupun ilmu..salam buat fauzan yo rin 🙂

    Suka

  7. menurut saya sih sebenernya ini juga masih bisa di bilang wajar… karena emang trade marknya tukul seperti itu… dari saat dia membawa acara di empat mata juga sudah ada kata2 seperti itu kan?? malah lebih parah… sudah KATROK, NDESO, IDUP LAGI…. itu sering di ucapkan sma si tukul kan? tapi mungkin kata2 ini hanya sebuah cambukan untuk para penonton lebih semangat.. itu sih hanya dari sudut pandang saya 😀

    Suka

  8. mb,.. ndeso itu kan iconnya mas tukul saja, gimana yah, bingung juga nih saya ngejelasinnya. bukan saya membela mas tukul loh dan bukan dikarenakan saya penggenamanya juga. menurut saya mas tukul itu hanya produk komersil saja mb bagi sipemilik dolar, justru mas tukul itu sangat bersahaja banget. saya pernah melihat biografi perjuangan beliau disalah satu TV swasta beberapa tahun yang lalu,disaat namanya mulai naik daun. tapi maap saya lupa distasiun yang mana. pokoknya soro banget mb, dan bener-bener kalo mas tukul itu memanglah ” ndeso” segala udah pernah dilakukan katanya untuk bertahan hidup. dan inilah hasil kerjakerasnya, dari kere sampai dengan sukses sekarang. jadi saya mohon banget mb jangan salahkan mas tukul ya mb

    Suka

    1. mbak Naura yang baik hati, diatas sudah saya sampaikan :

      1. Mr. Tukul toh bisa memilih. menggunakan kalimat yang baik atau yang buruk.
      2. Bukan kata “ndeso” yang saya sorot, mbak… Tapi olok-olok an yang Mr. Tukul sampaikan pada orang yang lebih “lemah”. Ini kan bullying. Saya hanya kasihan kepada anak-anak yang orang tuanya tidak peka.

      Tapi, terima kasih telah membaca. Sekali lagi, saya terpaksa menuliskan ini karena anak saya Fauzan meminta saya menulis surat untuk Mr. Tukul atas aksi olok-olok an pada iklan tersebut.

      Suka

  9. Waahh…tulisan yg super keren! Harus ada yg menegor begini biar disensor. Adek saya 4thn mulai ktularan tuh 😦 Sedih….memaki orang lain dijadikan ajang hiburan.

    Suka

  10. betul itu buk… sekalipun saya belum menikah tapi saya mempunyai keponakan yg umurnya tidk berbeda jauh dr anak ibu.
    sayangnya bahasa indonesia yg sesungguhnya sudah banyak yg di campur2.
    semoga ini menjadi perhatian dan pembelajaran untuk setiap org.

    Suka

  11. pilihan yg bijak sekarang adalah:buang jauh2 untuk menyalakan tv,bawa anak2 keluar rumah,ajarkan mereka bermain,bersosialisasi dan mengenal alam/lingkungan…

    Suka

  12. Assalamualaikum Mbak Rino.. Mantap nih si Umi..kembaran waktu kuliah dulu, hehe. Kalau dipikir2 sekarang ini memang zaman sudah benar2 kacau ya Umi. Yang salah disanjung2 yang benar dicela2. Tapi “the show always must go on”. Dan tugas kita sebagai orang tua lah untuk berusaha sekuat tenaga membentengi “Kertas Putih” kita agar tidak terkena coretan2 yang tidak perlu. Selama masih ada orang yang baik dan peduli terhadap masa depan seperti Umi, aku yakin masih ada harapan untuk kebaikan bagi kita semua. Amin.

    Suka

    1. Wa’alaikumsalam, Alvha…
      Masih kembar kah kita??? Hehehe…
      Terima kasih, ya… Semoga bangsa ini bisa menjadi bangsa yang lebih baik… Aamiin.
      Terima kasih telah berkunjung…

      Suka

  13. Sepakat dengan Fauzan Bu, salut dengan kekritisannya. sekarang memang banyak acara tv (beserta pembawa acara dan pengisi acaranya, tentunya) yang kurang mendidik, kalau tidak mau dibilang menjerumuskan anak-anak bangsa ke perilaku yang jauh dari tuntunan nilai budaya yang positif… dan yang lebih mengherankan lagi, acara-acara seperti ini disukai banyak orang dan didukung para pemasang iklan…

    Suka

  14. saya suka quote “Wong guyon koq, ditanggepi serius..!”
    dewasa ini emng udah jamak olok2an, lihat saja acara komedi di tv, isinya olokan semua, klo perlu dirinya sendiri mencerca diri sendiri.. seperti tidak ada bahan lainnya saja.. (hal ini sebenernya juga sdah dikritisi oleh seniman komedi dari era lama) tpi miris juga jaman sekarang udah parah..

    Suka

  15. Jika kita perhatikan acara televisi kita, jujur saja sebenarnya yang mendidik pada kebaikan hanya sekian persen saja, amat sangat sedikit sekali, mungkin kurang dari 10 persen dari total time /jam tayang per hari , jika dibandingkan dgn total jam anak anak kita berada depan televisi, tentunya sebuah perbandingan yg amat tidak sebanding, sebab waktu anak2 nonton televisi, sebagian besar lebih dari 3 jam/hari..
    Sebuah kondisi yg perlu perhatian kita semua. Tukul ? Hanyalah satu diantara kasus lainnya yg berjamur di semua stasiun televisi kita….
    Salam Hangat.

    Suka

    1. Betul, Pak… Kita memang harus bisa enjadi konsumen yang cerdas…

      Saya harus menulis ini, karena sudah berjanji pada anak saya itu untuk menuliskan surat ini kepada Mr. Tukul, Pak…

      Salam… ^__^

      Suka

  16. rinooo…bagus bgt suratnya..
    aq jadi bisa memulai untuk ngajari si kecil nih… harus bisa memilah mana yang baik n buruk.. mudah2an mr,tukul bacanya ga emosi ya..hahaha..
    btw fauzan pinter bgt ya noo..diajarin apa ajaaa? bagi pin donk no.. =)

    Suka

    1. Hasil nge share tulisan ini, saya dapat laporan bahwa sudah ada fenomena di sebuah Kota di Kaltim, anak-anak mengolok orang tuanya yang gak paham tentang internet…

      Trend yang tidak baik, tho mbak Anaz…?

      Suka

  17. terima kasih telah melakukan pengingatan kepada publik terutama buat para ibu agar lebih care terhadap tumbuh kembang anaknya. terima kasih juga telah renu telah membantu meningkatkan kesadaran buat kita para Ibu dlm memilah tontonan buat anak. good inspiration. sebagai Ibu, kami berharap badan sensor lebih berkerja aktif dlm menyajikan tontonan yang mempunyai nilai-nilai pengajaran positif

    Suka

  18. Assalamualaikum…
    Yang sangat saya kagumi disini adalah kejelian penulis melihat fenomena2x sosial yang terjadi di negeri ini. Salah satunya adalah iklan yang di bintangi oleh tukul arwana.
    Karena sepertinya, zaman sekarang banyak sekali dari kita di negeri ini yang justru menganggap hal2x yang sebenarnya tidak baik menjadi sebuah lelucon yang bisa membuat kita terpingkal2x.
    Yang lebih parah lagi,kita malahan juga doyan di bodoh-bodohi melalui acara2x TV yang tidak bermanfaat, dan terlalu jauh lari dari realita. Anehnya kita tau betul akan hal itu, tetapi kita malah menikmatinya.
    kata produser: “acara seperti itu komersil dan suka di tonton oleh masyarakat”.
    kata masyarakat di dalam hati: ” bagaimana ga di tonton, orang tidak ada pilihan lain”.

    yaah, sorry nih. jadi curhat. 🙂

    Suka

    1. Wa’alaikumsalam wr wb.
      Sebuah dilema, ya…?

      Terima kasih telah berkunjung… Curhat juga GPP koq… ^__^

      Suka

  19. Saya sangat setuju dengan ungkapan mbak yang “lebih baik” dengan mengumpat dan membuat celaan, maka bangsa ini tak lebih akan menjadi bangsa yang lambat berkembang benar sekali mba…
    Kita masih perlu banyak belajar untuk menjadi orang yang mendahulukan orang lain daripada diri sendiri, mementingkan orang lain daripada mementingkan dirisendiri… semua itu proses…

    Suka

  20. sayangnya, acara humor di televisi kita semakin hari semakin tak kreatif.. MEngolok-olok pemeran lain, seringnya olokan fisik, adalah senjata untuk menutupi kekurangkreatifan itu… Bahkan acara2 non humor macam dasyat pun tak lepas dari adegan ini

    Suka

    1. Aamiin…
      Terima kasih sudah ikut mendukung apa yang saya tuliskan disini. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran.

      Suka

    1. Olok-olokan produk membuktikan bahwa kreatifitas kini sedang terkungkung hanya dalam perlawanan melawan produk sejenis. Semakin tidak kreatif ya, Mas Priyo..?

      Suka

  21. Kita sebagai orangtua juga harus pintar-pintar juga mengingatkan anak mana yang baik dan mana yang tidak baik, sama seperti Mas Iwan bilang, anak-anak adalah peniru ulung. Surat ini seharusnya disebar juga sebagaimana surat terbuka kepada Ustadz Solmed.

    Suka

    1. Iya, Mas Bambang. Anak-anak ibarat spons juga. Tantangan berat orang tua di jaman ini adalah teknologi.
      Suwun wis mampir mrene… ^__^

      Suka

  22. Surat yang sangat menyentuh hati setiap orang tua.
    Betul, mbak, anak adalah peniru yg ulung.

    Faktanya, seringkali badan sensor iklan kebobolan atau lalai dalam hal yg kelihatannya sepele namun sebenarnya punya daya rusak yang hebat.

    Untuk menyikapi eksternal, protes tetap jalan, lebih baik juga kalo ditujukan ke lembaga perlindungan konsumen.

    Untuk menyikapi internal, kita sbg orang tua harus lebih hati-hati menghadapi kenyataan ini (kelalaian badan sensor), untuk itu sepertinya wajib bagi orang tua untuk mendampingi sang anak ketika menonton televisi. Bila ada hal yg kurang berkenan atau menyimpang, sebaiknya langsung dijelaskan bagaimana sikap yg benar.

    Suka

    1. Sekaligus untuk mengingatkan saya pribadi sebagai orang tua.
      Terima kasih untuk pengingatannya, Pak Iwan… ^__^

      Suka

Monggo bagi yang ingin menambahkan komentar