Asyiknya Bersepeda


Kemarin sore, seperti biasa, Kick Andi menayangkan ulang episode malam Sabtu sebelumnya. Aku tak tahu tema apa yang diusung. Yang pasti, Andi F. Noya, pembawa acara talk show itu menghadirkan tetamu istimewa yang gemar bersepeda.

Kita barangkali sudah mahfum, bahwa acara ini sering menginspirasi para pemirsanya. Entah karena tamunya, tema yang diusung, atau juga karena banyak buku yang dibagikan gratis di acara itu. Inspirasi itu menular padaku sesorean kemarin. Walhasil, aku ingin mencatatkan sebuah pengalaman waktu aku masih kecil dulu.

Terlahir dari anak keempat dari tiga bersaudara (kakak ketigaku meninggal saat dia berusia 7 tahun lebih 5 bulan) yang keempatnya perempuan, tak membuat aku tumbuh menjadi anak yang cengeng. Bahkan label anak bungsu yang embok-emboken ini aku luruhkan dengan sikap ‘berani tampil beda’. Haha… Aku membuat istilah itu karena aku tidak mau memilih kata tomboy untuk mengistilahkan kelakuan masa kecilku.

Well, apa hubungan antara Kick Andi, bersepeda, masa kecil, dan keberanian yang kumiliki?

Hmm.. Begini. Kala itu sekitar pertengahan tahun 1994. Aku baru duduk di kelas 3 SD. Kalau tidak salah, kejadian berlangsung sebelum aku Ujian Cawu (Catur Wulan) 3, sebelum naik ke kelas 4. Hari itu, hari Minggu, hari libur anak sekolah (meskipun aku sekolah di MI, tapi tetap hari liburnya hari Minggu). Mama dan Papaku sejak Shubuh sudah tidak ada di rumah. Mama dan Papa sedang ke RSUD Sidoarjo, tempat kakekku waktu itu dirawat. Sedangkan kedua kakakku, tak ada di rumah karena mereka berdua mondok di Pesantren Tambak Beras Jombang (selepas lulus SD, mereka dipondokkan oleh mama).

Aku yang sejak Shubuh tak ada teman, akhirnya mengambil sepeda untuk beraktifitas dengannya. Kupanggil tetanggaku, mbak Santi, dan mengajaknya untuk berpetualang dengan sepeda. Harapanku, ada teman untuk berbincang sepanjang perjalanan nanti.

Tapi ternyata dia enggan menerima ajakanku untuk bersepeda. Karena Minggu lalu, aku sudah mengajaknya untuk nyasar ke desa-desa yang belum pernah kami lalui sebelumnya. So, dia ngeri aku ajak lagi.

Jadilah hari Minggu itu, kukayuh sepeda mini yang biasa kupakai ke sekolah. Dari rumahku, aku tak mengambil jalan ke desa-desa, tapi aku lewati jalur utama tengah kota. Ku kayuh sepedaku terus ke arah Utara. Ku kayuh tanpa tujuan pasti kemana roda akan pergi.

Buduran, Gedangan, akhirnya sampai juga di Bundaran Waru. Pikiranku beradu. Pulang, atau lanjut. Kalau pulang, di rumah pasti belum ada orang. Jenuh manyun sendiri di dalam rumah. Kalau lanjut, hendak kemana. Tentukan pilihan, sekarang juga..!

Singkat cerita, pergolakan hati itu aku menangkan dengan tiba pukul 7 lebih beberapa menit di rumah Pak Dhe ku di daerah Gunungsari Surabaya. Teman-teman bisa cek di google map, berapa Km jarak yang aku tempuh waktu itu. Aku lupa, berangkat dari rumah pukul berapa.

Setiba disana, Pak Dhe langsung terperanjat dengan kedatanganku. “Lho, sama siapa? Sendiri? Kamu gak kenapa kenapa? Udah ijin mama?” Dan pertanyaan lain bernada khawatir sekaligus menginterogasi. Aku yang ditanya cuma cengar-cengir saja. Dan menjawab seperlunya.

Setelah berbasa-basi ala anak umur 9 tahun, aku memutuskan untuk pulang kembali ke Sidoarjo tepat 30 menit setelahnya. Pak Dhe membelikanku 2 bungkus roti bertabur dan berisi keju. Roti itu sebagai teman perjalanan dan pengganjal perut (roti isi keju memang selalu menarik perhatianku). Padahal yang sangat kubutuhkan saat itu adalah air putih dan segelas kopi (I am a coffee lover since I was 6 year old).

Oia, tak ada Bu Dhe waktu itu, sebab Bu Dhe pun telah berangkat ke RS dengan diantar kakak sepupuku. Sehingga, tak ada sarapan yang bisa kunikmati di rumah itu (ngarep mode on).

Pukul 9, aku tiba di rumah. Papa dan mama belum tiba. Dalam hati aku berujar, aku selamat! Aku tak perlu membuat alasan dari mana aku pergi dan jam segitu baru kembali.

Aku memang sengaja menyembunyikan aksiku waktu itu. Sejujurnya, aku takut kena marah dari papaku. Aku bahkan tak menceritakan aksi nekadku itu pada diary ku. Aku ingin menyimpan sensasinya di dalam hati saja.

Tapi, buyar semua keinginan untuk menyimpan cerita itu dalam hati. Pak Dhe secara sengaja menceritakan aksiku itu kepada kepada kedua orang tuaku. Walhasil, papa kebakaran kumis (waktu itu belum berjenggot, hehe) gak keruan. Aku dimarahi habis-habisan.

Yang aku ingat ucapannya waktu itu adalah, “Koq yo gak mikir, nek nang Suroboyo sepedaan iku, bahaya. Nek ketabrak yok opo? Opo maneh bunderan Waru, kendaraan koyo ngono akehe, koyo ngono bantere. Nek diculik yok opo? Nek semaput yok opo?” (gak perlu translate kan?)

Aku pun kena cubit tangan kekarnya yang sakitnya baru hilang dalam 24 jam. Tapi sakit itu tak membuatku membencinya. Sungguh, yang ada dalam pikiranku waktu itu adalah toh sudah terjadi, bukan?

Ya, begitulah pada umumnya anak-anak. Tak mengerti arti bahaya, ingin menunjukkan bahwa dia bisa, mencoba hal-hal baru, dan seperti tak punya istilah letih dalam kamus otaknya. Akupun waktu itu memiliki 4 rasa itu. Baru setelah dewasa, aku tahu bahwa aksiku itu terhitung nekad. Aku perempuan, masih kecil, bersepeda sendiri dengan menempuh jarak yang bisa dibilang tidak dekat, melewati jalur utama antar kota yang cukup berbahaya, belum sarapan, tidak bawa uang, tidak bawa air putih. Komplit banget aksi nekadku kala itu.

Sebenarnya, waktu aku masih kecil, aku pernah bercita-cita untuk keliling Pulau Jawa, keliling Indonesia, bahkan keliling dunia dengan bersepeda. Sering sekali aku melamun membayangkan tempat-tempat baru yang aku singgahi di muka bumi. Alangkah asyiknya jika itu aku lakukan. Haha.. Yang pasti, mama papaku tak pernah mengijinkanku untuk mewujudkannya (padahal sekarang, banyak orang yang telah melakukannya ya?)

Well, bersepeda itu memang mengasyikkan. Ada banyak hal yang bisa dinikmati dengan aktivitas ini. Sehat, tanpa polusi, bisa berhenti sesuka hati, dan membuat hati hepi.

Sayangnya, keasyikkanku, keberanianku, dan kegemaranku bersepeda ini, tidak terlihat (mungkin belum terlihat) pada anakku. Dia seperti tak berminat dengan sepedanya. Padahal, aku dulu bisa bersepeda roda 2 sejak berusia 5 tahun, sama sepertinya hari ini. Hallah, biasa ajha kali, wong anak juga gak plek sama kaya orang tuanya.

Dan soal mimpiku tadi, sampai hari ini aku masih ingin mewujudkannya lho.. Meski kadarnya telah banyak berkurang. Hehe..

***
..:: LaiQ ::..
Semarang, 19 Maret 2012
11:11 bersambung sampe pukul 12:50
Ditulis dengan LG P 500 dengan wordpress launcher untuk Android

6 tanggapan untuk “Asyiknya Bersepeda

Monggo bagi yang ingin menambahkan komentar