Menjawab Tantangan Pak Iwan Yulianto


Menjawab pernyataan Pak Iwan terkait komentar saya di jurnalnya disini, saya mencoba untuk mengulas sedikit dari yang saya ketahui. Btw, apa yang saya tulis ini murni dari panalaran saya terhadap program sekolah. Bukan pernyataan resmi dari sekolah. Semoga, tulisan ini bisa menjawab tantangan Pak Iwan.

Mem-break down kurikulum pendidikan seks, bagi sekolah yang berbasis Islam seperti sekolah saya, bisa dikatakan cukup mudah. Bagaimana tidak? Agama ini telah mengajarkan dengan benar bagaimana mendidik anak termasuk didalamnya pendidikan seks itu sendiri. Maka, sebagai Muslim penerapan pendidikan ini merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah.

Nah… Beberapa hal berikut ini, adalah cara sekolah dalam mendidik siswa/i menjadi insan yang kamil.

Memilih Orangtua

Sekolah dengan visi dan misi yang berorientasi jauh ke depan harus memiliki stakeholder yang mumpuni. Selain lembaga, guru, dan siswa, stakeholder yang juga sangat berperan adalah orangtua. Orangtua yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sekolah, harus memiliki visi dan misi yang sejalan dengan sekolah dalam hal mendidik anak. Jangan sampai ada celah yang terlalu mencolok, antara kebiasaan siswa di sekolah dengan kebiasaan siswa di rumah.

Disamping itu, Orangtua juga harus memahami bahwa guru adalah partner dalam mendidik anak. Bukan sebagai orang yang sudah dibayar untuk mendidik anaknya, yang bisa disuruh-suruh, disogok, tidak independen, disalah-salahkan, dan lain-lain.

Yang tak kalah penting adalah sekolah memiliki hak mengikat orangtua untuk selalu ‘menemani’ anak belajar setiap hari. Kata kunci pada kalimat ini adalah menemani, belajar, dan setiap hari. Menemani, bukan berarti mendelegasikan. Belajar, bukan hanya pelajaran tapi juga belajar tentang segala hal dalam kehidupan. Dan setiap hari, bukan hanya pada saat ada waktu luang saja.

Pada intinya, orangtua siap diajak bekerjasama untuk pengembangan dan pendidikan anaknya baik di rumah maupun di sekolah serta mendukung program-program sekolah (visi  dan misi sekolah).

Mengenalkan aurat

Sejak TK, anak-anak sudah dikenalkan tentang aurat; mengenakan jilbab, bagi anak perempuan dan bercelana panjang bagi anak laki-laki. Tak hanya standar itu yang diberlakukan bagi siswa yang sudah lebih besar. Menjulurkan jilbab sampai dada dan dengan panjang jilbab sampai siku, tidak mengenakan jilbab dan pakaian transparan, tidak berpakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, dan tidak memakai aksesoris berlebihan. Tak hanya itu, sekolah juga mengenalkan level suara. Level suara ini sebenarnya berfungsi sebagai ‘aturan berbicara’ pada siapa, dimana, dan pada saat apa. Namun level suara ini, pada kelas besar, berlaku untuk penerapan menjaga aurat terutama bagi murid perempuan.

Pelaksanaan menutup aurat di rumah juga dipantau oleh sekolah melalui buku penghubung. Salah satu point yang tertera dalam Buku Penghubung untuk kelas bawah adalah “menutup aurat dengan diingatkan”, sedang untuk kelas besar tertera “Menutup Aurat”.

Mengenalkan rasa malu

Sebuah penggalan hadits yang berbunyi, “Malu adalah bagian dari iman”, sering diperdengarkan  kepada para siswa. Rasa malu yang disampaikan, tidak hanya yang ada hubungan langsung dengan menampakkan aurat saja tapi juga rasa malu yang ada kaitannya dengan berlaku tidak baik (dosa). Apakah dia dalam keadaan berkelompok maupun pada saat sendiri.

Melalui taujih pagi, melalui halaqah, melalui aktivitas pembelajaran, dan seterusnya, rasa malu ini selalu ditanamkan pada peserta didik.

Saya pribadi selaku guru, sering mengaitkan malu dengan perasaan diawasi (muraqabatullah). Selain itu, saya terkadang mengaitkan rasa malu tadi dengan kehidupan yang sementara serta adanya hari pembalasan di yaumil akhir.

Nah, dengan rasa malu ini, diharapkan agar anak akan memiliki rasa malu bila dia melihat aurat orang lain, agar anak merasa malu jika melihat foto atau menyaksikan video yang menampakkan aurat orang lain, agar anak merasa  malu jika dengan sengaja dia mencari-cari gambar yang tidak boleh dia saksikan, dan seterusnya. Saya yakin, rasa malu ini akan mengendalikan diri anak sehingga dia mampu menyaring informasi yang datang kepadanya.

Mengenalkan muhrim

Salah satu contoh yang dilakukan sekolah dalam point ini adalah dengan tidak memperbolehkan anak perempuan menyentuh anak laki-laki maupun sebaliknya. Hal ini diberlakukan mulai dari jenjang kelompok bermain. Jika ada suatu kondisi yang menyebabkan mereka bersentuhan, maka guru dengan sigap akan membantu anak-anak agar tidak bersentuhan secara langsung.

Contoh lainnya adalah anak laki-laki tidak diperkanankan bersalaman dengan guru perempuan (mulai kelas 3 SD keatas)  maupun sebaliknya. Meskipun tak boleh bersentuhan, mereka dapat saling memberi salam dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada dan mengucapkan salam.

Pemisahan putra-putri

Mulai dari kelas 3 SD, anak-anak dipisahkan kelasnya berdasarkan jenis kelamin. Tidak hanya itu, pada berbagai kegiatan sekolah, anak-anak dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Bahkan, pada kelas besar (jenjang SMP), jalur mobilisasi pun dibedakan berdasarkan jenis kelamin.

Tak hanya anak yang dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya. Guru pun diusahakan untuk mengajar kelas sesuai jenis kelaminnya. Guru perempuan untuk murid perempuan, dan guru laki-laki untuk murid laki-laki. Hal ini dilakukan untuk mengkondisikan siswa sesuai dengan fitrahnya, laki-laki tangguh dan perempuan tulen.

Larangan berkhalwat dan mendekati zina

Nah… Untuk hal yang satu ini, ada aturan dan tata tertib sekolah yang benar-benar berupa larangan. Dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang tegas. Bahkan berkhalwat dan mendekati zina ini tergolong pelanggaran berat. Yang termasuk berkhalwat dan mendekati zina ini adalah :

  • Berboncengan dengan lawan jenis yang bukan muhrim dan
  • Berpacaran

Kedua hal diatas tergolong pelanggaran berat dan apabila melakukannya pada keadaan tertentu, sekolah bisa melakukan drop out kepada siswa/i yang bersangkutan.

Memperkenalkan tanda-tanda baligh

Untuk murid kelas atas (kelas 5, 6, 7, dan 8) pada beberapa kesempatan, guru akan menjelaskan tentang tanda-tanda akil baligh. Selain itu, guru juga akan mengajarkan cara bersuci yang benar, yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Nabi.

Pada morning talk guru akan memberikan taujih tentang pergaulan Islami. Tujuannya adalah untuk menguatkan anak-anak tentang baligh, khalwat, dan zina.

Program-program pendukung lainnya

Untuk menyalurkan energi siswa di usia remaja, maka sekolah membuat program-program yang bisa menahan gejolak remaja. Misalnya, tahfidzul Qur’an dengan target satu tahun satu juz, kerja kelompok untuk membahas sebuah tema, jalasah ruhiy, mabit, bakti sosial, SliDe, LDKS, lomba mading setiap bulan, speech contest, story telling, math contest, bussines day, da’i remaja, lomba puisi, cover design contest, lomba debat, kegiatan ekstra kulikuler, pramuka, dan lain-lain.

Hal ini dilakukan selain untuk membentuk karakter siswa, juga dilakukan sebagai bentuk kegiatan positif dan membuang energi negatif dari para siswa.

###################

Sekali lagi saya tekankan, bahwa beberapa hal yang saya tulis diatas adalah murni hasil panalaran saya terhadap program sekolah dimana saya bekerja saat ini. Ketujuh hal diatas bukanlah pernyataan resmi dari sekolah. Sekali lagi, bukan pernyataan resmi dari sekolah. Apabila pembaca ingin melihat langsung proses pembelajaran di sekolah, bisa mengunjungi sekolah kami di Jl. Pecantingan Sekardangan SidoarjoAtau Anda bisa mengunjungi web resmi LPIT Insan Kamil ini.

Saya mohon maaf, apabila ada pernyataan yang kurang tepat dari apa yang saya tulis diatas.

***
..:: LaiQ ::..
Sidoarjo, 15-19 November 2013
10:44

Diublek-ublek sampe koyo embuh .

22 tanggapan untuk “Menjawab Tantangan Pak Iwan Yulianto

  1. Jazakillah khayran, mbak Lailatul Qadr, mencerahkan.

    Saya setuju sekali implementasi pendidikan seks yang diajarkan di LPIT Insan Kamil, benar-benar seperti yang diajarkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam. Recommended sekali untuk tempat belajar.
    Pendidikan seks memang tidak harus diajarkan secara vulgar pada anak-anak. Ada adabnya yang oleh sekolah Islam dikemas dalam taujih tentang pergaulan Islami.

    Suka

    1. Saya rasa sudah cukup menjawab.

      Perlu juga diadakan kelompok diskusi membahas contoh kasus yang berkaitan dengan dekadensi moral yang dikemas dalam bagian pergaulan Islami.

      Dari kelompok diskusi tersebut bisa digali daya pikir mereka dan cara mereka menyikapinya apakah masih on the right track atau tidak.
      Semoga LPIT Insan Kamil punya agenda mengembangkan budaya kelompok diskusi dalam kelas.

      Suka

  2. Wah baru nyadar konsep2 seperti inilah ya edukasi seks kepada anak2 sesuai dengan koridor syar’iah. Ini malah harus diajarkan supaya tidak menyimpang saat dewasa.. Sayang saya sendiri dulu belum mengecap pendidikan dengan konsep spt ini, mbak…

    Suka

    1. Saya dulu juga belum merasakan pendidikan seperti yang saya tulis diatas. Tapi sekarang, saat menjadi guru, saya banyak belajar.

      Btw, nanti kalo Mas Anas punya anak, cari sekolah buat anak seperti yang saya sebutkan diatas ya, Mas.. Hehe… #BerbauPromosi

      Suka

  3. koq masih nunggu moderasi kalo saya komeng??

    bukan Muhrim yaa Umma Fauzan,, lakin Mahrom

    Muhrim itu org yang pake kaen ihrom,, mgkin itu dikit koreksinya selebihnya jempol

    kirain di LIPIA aja yg mobilisasinya samoe pintu masuk dan keluar mahasiswa-mahasiswi dipisah, ruang kelas dipisah berdasarkan kelamin (itulah yg menyebabkan saya gak punya kenalan akhwat LIPIA,, #bingungharussedihapagak), perpustakaan dibedakan jadwal kunjungnnya, kantinnya dipisah, dan pengajarnya juga dibedakan berdasar kelaminnya..

    Suka

Monggo bagi yang ingin menambahkan komentar