[9 Hari di Rumah Sakit] DROP


Sabtu siang yang menegangkan. Dua orang pelajar yang datang ke rumahku sampai tak sempat kupamiti. Awalnya, setelah mengobrol beberapa menit dengan Betty dan Farah, keduanya siswi kelas XII SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, dadaku terasa sesak. Sangat sesak sampai aku terbatuk beberapa kali. Degup jantung juga berdebar begitu kencang seperti habis berlari sprint 400 m.

“Bentar, dek… ada yang aneh dengan tubuh saya.” Ijinku ketika itu kepada mereka.

“Iya mbak… Santai ajha. Kita gak keburu koq,” Jawab Betty.

“Dek… Liaten… Mukaku pucat?” Tanyaku kemudian.

“Iya, MBak…” Kata Farah menyahut. Aku sedikit panik karena memang rasa sesak di dada semakin menjadi.

“Aku ijin ke belakang dulu, ya…”

“Ya wis… Mbak baring-baring ajha di dalam. Kita sholat Ashar dulu di Masjid,” kata Betty mencoba memberi solusi. Memang… waktu itu adzan Ashar baru selesai berkumandang.

Ketika aku masuk ke dalam rumah, aku langsung menuju kamar mandi. Bukan karena mual lalu aku mau muntah, tapi karena aku berpikir aku harus memuntahkanseluruh isi perutku. Kalau tidak, makanan yang baru kumakan sekitar sejam sebelumnya justru bisa menyedak pernafasanku seandainya aku sudah gak kuat nanti. Dan menurutku, ini berbahaya.

Sekeluar dari kamar mandi, setelah seluruh isi perutku tak bersisa lagi, dadaku semakin terasa sakitnya. Lalu aku menuju ke kamar depan. Tetapi karena aku takut berbaring karena kupikir jika aku merebahkan tubuhku diatas ranjang, maka bias saja aku tiba-tiba pingsan dan tidak ada yang tahu. Maka aku putuskan untuk duduk di bibir tempat tidur.

Aku memanggil ibu yang sedang berada di dapur dengan tenaga yang masih tersisa. Ibu tak begitu mendengar hingga kucoba berteriak agak lantang. Akhirnya Ibu pun datang dan terkaget melihat wajahku yang tiba-tiba pucat dengan keringat sebesar jagung.

Ibu segera melepas kaos kaki yang masih kupakai, melepas kancing bajuku, tapi kularang melepas jilbabku, karena aku langsung berkata pada beliau, “Biarkan saja, Bu. Kita ke UGD sekarang.”

“Sama siapa? Papa belum datang.”

“Becak.”

“O… Bu Ken… Ada menantunya siang ini. Mobilnya ada di rumah.” Kata ibu dengan tanggap.

Ibu segeraberlari ke rumah tetanggaku yang hanya berjarak 2 rumah dari rumah Papaku itu. Tak lama, mobil pun sudah ada di depan rumah. Ibu segera menyambar kerudungnya tanpa sempat berganti baju.

Aku pamit ke anakku Syafa, “Kak… Ummi sama Yangti… ke rumah sakit. Nanti kalau mbaknya (Betty dan Farah) turun dari masjid, tolong dikasih tahu, Ummi masuk rumah sakit. Mbaknya pulang saja. Atau nanti kalau Kokong datang, suruh telpon Yangti, ya…” Kataku dengan nafas satu-satu, keringat dingin mengucur deras, telapak tangan dan telapak kaki yang semakin menjadi dingin.

Tak kuhiraukan lututku yang masih agak susah digerakkan, akibat kecelakaan seminggu sebelumnya, aku segera memasuki Xenia silver itu. Aku bilang kepada Ibu, “Ibu, tasku dibawa kan…? Ada uang disitu.”

Ibu menjawab, “Iya.”

Ketika mobil mulai berjalan, Bu Ken bertanya, “Mau masuk mana, Mbak Rino…?”

“Siti Hajar saja,”kataku langsung tanpa pkir panjang. Mobil pun melaju dengan cepat karena sang driver menyalakan lampu tanda bahaya.

Didalam mobil, ibu terus memegangi tanganku yang sedingin es. Sedangkan aku terus beristighafar mengatur nafasku yang masih sangat cepat demi mencoba meniadakan rasa sakit yang sangat di seluruh rongga dada.

Tiba di depan IRD RSI Siti Hajar, ibu langsung mengambil kursi roda. Perawat datang membantu menurunkanku dari dalam mobil. Lalu aku harus naik ke atas tempat tidur. Saat itu aku ditanya, “Apa yang dirasakan?”

“Nafas saya… dada saya sakit.” Ujarku sambil mengernyitkan kening menahan sakit.

“Sebelumnya pernah mengalami seperti ini?”

“Tidak.”

“Punya sakit asma?”

“Tidak.”

Perawat lalu menggunakan tensimeter untuk mengukur tekanan darahku.

“90 per 50,” ujarnya yakin.

Di seberang sana, perawat lain menyiapkan selang oksigen. Sementara, dokter jaga yang berusia paruh baya yang sedari tadi hanya memperhatikanku dari jauh akhirnya mendatangiku. Ia lalu menekan dadaku dengan stetoskop yang telah terpasang di telinganya. “Sejak kapan seperti ini?”

“Barusan saja, saat adzan Ashar tadi, “jawabku, dengan nafas masih tersengal.

Selesai aku menjawabnya, selang oksigen dimasukkan ke hidungku. Aku dibiarkan begitu saja dengan selang yang mengeluarkan udara sejuk itu.

“Pengantar mendaftar dulu, ya…” ucap dokter kepada ibuku.

Aku memanggil ibu dengan melambaikan tanganku yang lemah sebelum ibu menuju ke meja pendaftaran. Kemudian aku bilang pada beliau, “ada kartu berobatku di dompet.” Aku memang pernah berobat di Rumah Sakit ini sebelumnya.

Segera setelah ibu membawa kuitansi pendaftaran dan perawat mengantarkan statusku ke ruang IRD, perawat lain membawa alat dan memasang selang-selang di tubuhku. Aku dites ECG.

Aku baru tau, teryata tes ECG dilakukan hanya sekitar 1 menit dengan kedua kaki, kedua tangan, dan beberapa titik di dada diberi kabel-kabel . “Ibu, tahan dulu ya…,” ujar perawat ketika selesai memasang semua kabel di tubuhku.

Aku menuruti kata suster di IRD itu. Tak lama, lembaran rekam jantung pun keluar.

Hasil ECG 1
Hasil ECG 1

Semenit kemudian, dokter jaga mendatangi tempat tidurku dan bertanya, “Ibu sudah makan?”

“Sudah, tapi tadi saya muntahkan…”

“Ibu stress…? Ada yang dipikirkan…?”

Aku diam sejenak. “Sekitar 3 hari belakangan, iya dok…” Jawabku dengan nafas masih sangat payah.

“Ibu, kalau ibu sedang banyak yang dipikirkan, atau sedang banyak pekerjaan, jangan sampai telat makan… otak dan tenaga diforsir, perut harus diisi dengan sumber makanan.”

“Iyha dok…” dengan nafas masih tersengal. Berarti hanya masalah lambung saja, pikirku kala itu.

“Sekarang, ibu mau opname atau rawat jalan…?”

Kemunculan papa yang tiba-tiba di IRD, membuyarkan konsentrasiku. Pertanyaan belum kujawab. Dokter bertanya sekali lagi, “Ibu mau opname atau rawat jalan?”

Aku meminta waktu untuk berdiskusi dengan kedua orangtuaku, “Sebentar ya, dok… mumpung papa saya datang.” Kataku masih dengan tersengal dan selang oksigen di hidung,

“Gimana kondisimu? Yok opo critane?” tanya papa dalam bahasa Jawa.

Ibu lalu menceritakan kepada papa kronologis sampai aku bisa masuk IRD RSI Siti Hajar.

Tiba-tiba aku teringat anak-anakku di rumah. Lalu aku minta ibu menelepon kakakku untuk menjaga anak-anak sampai papa dan ibu pulang ke rumah kembali.

Ok, anak-anak sudah beres.

Papa bertanya pada dokter, “Apakah dengan kondisi seperti ini bisa rawat jalan, Dok?”

“Ya, bisa saja, Pak…” Kata dokter. “Jadi, bagaimana? Opname atau pulang?”

“Sebentar, Dok… Kami menghubungi suaminya dulu,” ujar papa menahan keputusan.

Ibu kemudian menghubungi suami. Setelah ditelpon berkali-kali, barulah suami mengangkat teleponnya. Rupanya suamiku sedang dalam perjalanan menuju rumah papa dan saat itu dia sudah berada di Waru (Suamiku kerja di Gresik). Ibu meminta ayahnya anak-anak untuk langsung menuju RSI Siti Hajar.

Setelah setengah jam menunggu, suami datang dan segera memutuskan untuk saya opname karena iba melihat kondisiku yang sangat drop.

Setelah suami mengatakan OK, selang infus masuk ketubuhku setelah sebelumnya darahku diambil beberapa CC. Lalu, dengan kursi roda aku diantar ke laboratorium untuk foto torax.

Selang Infus
Selang Infus

Di Laboratorium

Suami yang membantu menaikkan tubuhku keatas meja kaca sedingin es itu, merasa kesusahan. Bukan hanya karena beratku yang mencapai 70 kg, tapi juga karena nafasku yang masih satu-satu tadi, dada yang masih terasa sakit, dan kaki yang belum sembuh benar akibat kecelakaan 11 hari sebelumnya. Sambil berdzikir aku berusaha menaiki ‘tempat tidur es’ itu dengan sekuat tenaga.

Eh, ternyata…. Proses fotonya berlangsung tak lama, hanya beberapa detik saja. #udik

Setelah foto torax, kursi roda digiring ke ruangan rawat inap Paviliun no 2. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 16.30. Didalam ruangan sudah ada 1 pasien lain. Kemudian dengan dada masih berdebar aku harus kembali berusaha sekuat tenaga menaiki tempat tidur ruangan.

Dan malam itu menjadi malam yang sangat panjang bagiku. Bagaimana tidak… tidak ada obat lain yang dimasukan ke tubuhku selain infus. Berkali-kali aku merengek bertanya kepada suami yang setia menungguiku kapan dokter akan visite, dan dia hanya mendapat jawaban nihil dari perawat.

Beberapa kali kuminta selang oksgen dipasangkan ke hidungku agar membuat lega nafasku. Tapi tetap saja, hasilnya tidak signifikan.

Ke Kamar Mandi untuk Pertama Kali

Dan sampai suatu ketika di malam menjelang pagi itu, aku ingin ke kamar mandi untuk BAK. Namanya ruangan di rumah sakit, kamar mandi pasti tak jauh dari tempat tidur pasien, hanya 2 m dari tempat tidurku. Dan apa yang terjadi….? Aku sama sekali tak sanggup melakukannya. Suami sampai harus meminjam kursi roda ke meja perawat.

Bayangkan… Betapa susahnya aku bernafas waktu itu.

***
..:: LaiQ ::..
Sidoarjo,  14 November 2014

Daripada nganggur di Rumah Sakit

***

16 tanggapan untuk “[9 Hari di Rumah Sakit] DROP

  1. hasile ECG, hasile ambil darah, sama foto thorax gimana bu? koq gejalae kayak gitu…..sesak napas, dada sakit….doktere malah bilang ibu jangan telat makan, emang opo hubungane? kesimpulane ibu sakit apa?

    Suka

  2. mbak kami ikut prihatin dengan kondisi anda saat itu, dan saran mhn mbak waktu bangun pagi usahakan tidak langsung turun dari tp tdr lakukan gerakan ringan yaitu posisi duduk tangan diangkat tinggi ke atas sambil tarik nafas lepas pelan2 kemudian tangan tarik miring kekiri dan kanan bergantian untuk meregangkan saraf2, insyaallah bisa bermanfaat untuk kesehatan

    Suka

Monggo bagi yang ingin menambahkan komentar