Kalau Nanti Tua


Pagi ini ada sebuah percakapan WhatsApp menarik, antara saya dengan rekan saya. Gegara saya posting gambar ini di status WA saya.

Tetiba dia membalas status tersebut dengan emoticon šŸ˜¢.

Tentu saja saya bertanya, mengapa…?

Rupanya dia sedang dalam keadaan ‘berputus asa’.

Kondisinya adalah teman saya ini telah belasan tahun menikah dengan istrinya. Tapi hingga kini, belum dikaruniai putra/i satu pun. Beberapa cara sudah dicoba. Tapi gagal. Memang belum sampai tahap bayi tabung sih. Karena biaya bayi tabung ini tidak sedikit.

Lalu hari ini, dia sedang menemani Bu Dhe nya yang tak berputra dirawat di sebuah RS di Jawa Tengah. Ini SS singkat percakapan kami.

Manusiawi. Berpikir nanti kalau tua, renta, tak kuat apaĀ², jika tak punya putra, lalu siapa yang akan merawat kita. Nanti kalau sakit, di rumah sakit, siapa yang akan menjenguk atau menyuapi atau bahkan memandikan. Saya yakin, banyak juga orang yang belum dikaruniai anak, berpikir demikian.

Bukan saya tak berempati kepadanya. Saya tahu yang dia lakukan selama ini cukup panjang. Keinginannya untuk memiliki putra tak pernah padam. Hingga akhirnya di titik ini. Dia berhenti berharap. Berhenti berharap bahwa Allah akan mengabulkan permohonannya. Berhenti berharap, Allah memberinya amanah seorang anak. Dia ada pada titik PASRAH. Diberi, Alhamdulillah. Tidak pun, tidak mengapa.

Tapi tibaĀ² dia mengalami sebuah peristiwa. Budhe nya masuk RS. Pun Bu Dhe ini sama seperti keadaannya. Tak berputra. Lalu pikiranĀ² ketakutan akan masa depan terbayangkan didepannya. Takut tak ada yang mengurusnya saat dia tua dan sakit-sakitan. Dia (dan mungkin juga kita) seolah lupa, bahwa ada banyak orangtua yang ditinggalkan anakĀ²nya ketika dia sudah renta. Atau orang tua yang punya anak, tapi masa tuanya justru ‘ketanggungan’ dengan keadaan putra putrinya.

Saat merawat seseorang yang bukan orangtuanya, dia seolah abai, ada anak atau tidak, tidak akan menjamin seseorang ‘nyaman’ dimasa tuanya. Seolah-olah dia akan sangat merana di hari tuanya tanpa anak dan cucu disampingnya.

Padahal kita semua tahu, usia adalah rahasia-Nya. Belum tentu usia kita sampai senja. Ada banyak yang meninggal di usia muda… Padahal kita semua juga tahu, bahwa anak adalah titipanNya, bukan sepenuhnya milik kita. Ada amanah luar biasa berat yang ditanggung di pundak orangtua… Padahal kita juga tahu, ada peringatan Allah dalam QS. At Tahrim : 6, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” Yang itu membuat seseorang yang telah menjadi orangtua memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga putra/i nya… Padahal kita semua juga tahu, bahwa anak yang sholih bukan satuĀ²nya jalan, agar Allah mengirimkan pahala jariyah yang terus menerus tak pernah putus kepada kita hingga yaumil akhir… Padahal kita semua tahu, bahwa Nabi pernah menyampaikan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Ya… Kadang kala memang ada sebuah situasi dimana ketuhanan kita sedang diuji.

Suatu hari saya pernah bertanya kepada Allah, ‘Masa Engkau tega kepada saya, ya Allah…?’.

Saat itu bahkan saya menangis, marah, kecewa kepada Allah. Tapi rasa itu tak lama. Hanya beberapa menit. Sampai kemudian saya tersadar dan beristighfar. Saya sadar sesadar-sadarnya. Karena saya yakin, tak ada sehelai pun daun yang gugur kecuali telah dituliskanNya di lauhul mahfudz.. Tidak ada sesuatupun yang terjadi kecuali atas seizinNya.

Lalu saya berdoa, berharap, dan tidak berputus asa terhadap apa yang sudah Allah takdirkan untuk saya.

Situasi saya saat itu adalah situasi setelah saya melahirkan Alma (Anak saya terakhir). Alma harus dirawat selama 23 hari di NICU, dengan jantung bocor, dan dinyatakan Down Syndrome.

###

Sidoarjo, 22 Agustus 2023

12 : 07

Buat kamu yang sedang berjuang, sedang berusaha, sedang bersedih, sedang kecewa, sedang marah, tetaplah berada pada tali Allah. Kuatkan keimanan. Percayalah… takdir-Nya tak pernah salah sasaran.

Monggo bagi yang ingin menambahkan komentar