Semeleh, Pasrah, Tawakkal


Percaya gak…? Kadang, muncul perasaan campur aduk di otak saya. Apakah anak spesial saya akan dapat bertumbuh seperti halnya anak normal pada umumnya. Bisa berbicara, bisa berjalan, bisa mandiri, dan bahkan bisa berpenghasilan sendiri ketika nanti dia dewasa.

Allah menitipkannya kepada saya di usia saya yang tak lagi muda. Dia lahir ke dunia, saat usia saya mencapai 39 tahun. Jika dihitung, 10 tahun lagi, usia saya sudah 49 tahun. Usia yang tak lagi muda dan tentu tak selincah sebelumnya. Lalu hadirlah kekhawatiran, apakah saya bisa membersamainya sampai nanti dia dewasa…? Membayangkan 10 tahun lagi saja, rasanya fisik saya sudah tak sekuat sebelumnya. Apalagi di usia-usia berikutnya, dia lagi butuh-butuhnya dengan saya.

Kadang muncul juga pikiran seperti ini. Andai saja anak istimewa saya ini lahir di saat usia saya masih muda, mungkin saya tak akan segalau ini. Karena saya yakin, saya mampu mengarahkannya dengan baik saat usia saya lebih muda.

Ah, tapi kemudian saya kembali tersadar. Bukan orang beriman rasanya jika suka berandai-andai dan mengkhawatirkan masa depan. Bukan orang beriman namanya jika masih tidak yakin dengan takdir yang telah dituliskan-Nya. Bukan orang beriman namanya jika masih berpikir, bahwa segala sesuatu bisa menjadi baik atau buruk atas kuasa manusia, bukan Allah pemilik semesta.

Dan setiap pada kondisi itu, selalu terlintas dalam pikiran saya, sebuah kalimat menenangkan dari sahabat saya, Hermiana Vereswati, beberapa waktu lalu saat anak saya itu lahir ke dunia. Dia mengatakan, “Semeleh, No… Semeleh…”

Semeleh adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna kepasrahan penuh. Sedang dalam Islam, semeleh identik dengan frasa tawakkal ilallah. Pesan yang sederhana namun mendalam. Dan bahkan saya sendiri pun secara sengaja maupun tidak sengaja, sering menyampaikannya kepada orang lain yang meminta nasihat kepada saya. Tapi ketika saya di kondisi sedang turun iman, frasa tawakkal ilallah itu seperti lenyap begitu saja.

Lanjutnya begini, “Semeleh, No… Karena Allah lah yang telah mentakdirkan semuanya. Semeleh, No… Karena sesungguhnya Allah sedang menyelamatkan kita. Semeleh, No… Karena Allah Maha Penyayang.” Dada yang tadinya bergemuruh, seketika sejuk dengan kalimatnya itu.

Setelahnya, saya menata ulang hati saya. Yang sedang Allah takdirkan kepada saya karena sesungguhnya Allah sangat menyayangi saya. Allah sedang ingin menyelamatkan saya dari kerugian-kerugian dunia. Kerugian yang kadang kita luput ‘menghitungnya’. Dan sebaliknya, Allah justru ingin memberikan kebaikan-kebaikan, kenikmatan-kenikmatan, kepada saya. Lebih mendekat kepada-Nya, karena saya ini hanya manusia biasa. Dan kalimat indah lainnya yang saya ingat seteklahnya adalah : segala sesuatu terjadi adalah karena ijin-Nya, bukan karena kehebatan manusia.

Dan ya… Ketika kesadaran itu kembali pulih, perlahan tapi pasti, terurai lah campur aduk yang ada di pikiran saya di awal tadi. Kembali jernih, kembali menikmati setiap fase perkembangan anak saya, dan kembali memaksimalkan upaya agar dia bisa bertumbuh layaknya anak normal pada umumnya.

***

Memang ya… Iman itu naik turun. Alhamdulillah, masih dipertemukan dengan orang-orang shalih yang mengokohkan kembali keimanan. Nasihat dari hati, akan sampai pula di hati.

Kalau kamu, pernah berada pada situasi yang sama gak…? Tulis di kolom komentar ya…

***

Emohi Rino Lailatul Kodar
Sidoarjo, 01 Maret 2024

Monggo bagi yang ingin menambahkan komentar